I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengawetan telur ikan adalah suatu cara untuk mempertahankan kualitas telur. Hal ini sangat diperlukan dalam biologi perikanan, khususnya untuk pengamatan telur berdasarkan morfologi dan diameternya, selain itu penting juga untuk pengamatan fekunditas. Dalam pengamatan fekunditas umumnya dilakukan di laboratorium dan sulit untuk melakukannya dalam waktu yang bersamaan. Telur yang akan diamati harus dalam keadaan yang segar, oleh karena itu telur yang akan diteliti harus sudah awet jika tidak bisa diamati langsung. Pengawetan dapat dilakukan terhadap ikannya secara utuh atau terhadap telurnya saja.
Mengawetkan telur bertujuan untuk mempertahankan mutu telur, bukan memperbaiki mutu. Prinsipnya mencegah penguapan kandungan air (H2O) dan karbondioksida (CO2) yang telah ada dalam telur, serta memperlambat kegiatan dan perkembangan mikroorganisme.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui morfologi dan diameter telur ikan sebelum dan sesudah diawetkan dengan pendinginan, formalin, dan gilson.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengawetan Telur
2.1.1 Formalin
Pengawetan dapat dilakukan terhadap ikannya secara utuh atau terhadap telurnya saja. Bahan pengawet yang dipakai untuk tujuan ini adalah larutan formalin dan larutan gilson. Larutan formalin ialah bahan pengawet yang cukup baik, dimana spesimen yang sudah diawetkan dengan larutan formalin dapat diganti dengan bahan pengawet alkohol yang dapat mengawetkan lebih lama (Effendie, 1979). Formalin 100% (sama dengan formaldehyde 40%) harus terlebih dahulu dilarutkan sebelum digunakan, dengan cara penambahan air. Satu bagian formalin pekat (formalin 100%) ditambah sembiln bagian air sehingga menjadi formalin 10%. Larutan formalin inilah yang banyak atau sangat umum dipakai didalam bermacam-macam penelitian. Telur yang diawetkan dengan formalin dapat tahan lebih dari satu bulan. Namun ada baiknya apabila sudah sampai dilaboratorium telur tersebut segera dikerjakan dengan tidak menunggu waktu yang lebih lama.
Senyawa kimia formaldehida disebut juga metanal, merupakan aldehida berbentuk gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida dapat dihasilkan dari pembakaran yang mengandung karbon. Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40% (Sudarmadji, 1997). Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai desinfektan, Formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian. Formaldehida juga dipakai sebagai pengawet dalam vaksinasi. Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengeringkan kulit. Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk sementara mengawetkan bangkai (Anonim, 2009).
2.1.2 Gilson
Bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet selain dari larutan formalin ialah larutan Gilson. Larutan gilson ialah larutan yang dapat digunakan bukan saja mengeraskan telur tetapi dapat juga melepaskan serta menghancurkan jaringan ovarium (Effendie, 1979). Larutan ini terdiri dari beberapa bahan yang dicampurkan menjadi satu. Menurut Bagenal (1968)dalam Ricker (1968) terdiri dari 100 mL alkohol 60%, 880 mL air, 15 mL asam nitric, 18 mL asam asetat glasial, dan 20 g mercuri chlorida.
Asam (yang sering diwakili dengan rumus umumHA) secara umum merupakan senyawa kimia yang bila dilarutkan dalam air akan menghasilkan larutan denganpH lebih kecil dari 7. Sedangkan zat asam ialah zat yang memiliki potensial hidrogen rata-rata dibawah 7 sehingga memiliki keasaman yang tinggi. Zat asam yang terdapat dalam larutan gilson ialah asam nitric dan asam asetat glasial. Kedua zat asam tersebut memiliki potensial hidrogen yang tinggi terutama jika tambahkan zat mercuri chlorida sehingga dapat menghancurkan jaringan ovarium pada ikan (Anonim, 2009).
2.1.3 Pendinginan
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara - 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu –2oC sampai + 16oC.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendinginan ialah suhu, kualitas bahan mentah, perlakuan pendahuluan yang tepat (misalnya pembersihan/penyucian), kelembaban, dan aliran udara yang optimum, karena distribusi udara yang baik akan menghasilkan suhu yang merata di seluruh tempat pendinginan sehingga dapat mencegah pengumpulan uap air setempat (lokal).
2.2 Morfologi dan Diameter Telur
Sel telur pada ikan seluruhnya terisi oleh kuning telur. Kuning telur yang berada pada bagian tengah keadaannya lebih pekat dari pada bagian pinggir, karena adanya sitoplasma yang banyak terdapat pada sekeliling telur (Effendie, 1979). Telur ikan pada umumnya berbentuk bulat dengan diameter yang bervariasi menurut spesies. Telur ikan yang belum terbuahi pada bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput kapsul atau chorion, di bawah chorion terdapat lagi selaput yang kedua dinamakan selaput vitelin. Selaput ketiga mengelilingi plasma telur dan selaput tersebut dinamakan selaput plasma. Ketiga selaput ini semuanya menempel satu sama lain dan tidak terdapat ruang diantaranya. Bagian telur yang terdapat sitoplasma biasanya berkumpul di sebelah telur bagian atas yang dinamakan kutub animal. Bagian bawahnya, yaitu kutub yang berlawanan terdapat banyak kuning telur, kutub ini disebut kutub vegetatif (Sumantadinata, 1981). Pada ikan ovipar dibungkus dengan lapisan tersebut denganmemiliki ketebalan 10 – 10,2 mm dan memiliki struktur kompleks yang terdiri dari empat lapisan yang berbeda (Linhart et al., 1995).
Diameter telur pada gonad yang sudah matang berguna untuk menduga frekuensi pemijahan, yaitu dengan melihat modus penyebarannya, sedangkan dari frekuensi ukuran telur ikan dapat diduga lama pemijahannya. Ovarium yang mengandung telur ikan masak berukuran sama menunjukkan waktu pemijahan yang pendek sebaliknya waktu pemijahan yang panjang ditandai dengan bervariasinya ukuran telur ikan (Hoar, 1979 dalam Khotimiyati, 2004). Ukuran telur umumnya 0,5 - 2,5 mm dan warna telur umumnya kuning dengan gradasi yang bervariasi. Atas dasar struktur kulit luarnya, telur akan dibeakan menjadi telur non adhesive, adhesive, bertangkai dan dalam gumpalan lendir.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah lemari es/freezer, mikroskop, loupe, gelas arloji/cawan petri, botol film, mikrometer obyektif dan mikrometer okuler.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah larutan formalin, larutan gilson dan telur ikan segar yang baru dikeluarkan dari tubuh ikan.
3.2. Metode
3.2.1 Metode pengawetan telur
3.2.1.1 Pendinginan
Siapkan ikan Lele (Clarias gariepinus) yang masih segar, lalu ikan tersebut dibedah dan diambil telurnya. Telur tersebut lalu diamati morfologi dan diameter telurnya. Sebagian telur dimasukan ke botol film dalam keadaan kering, lalu botol film tersebut dimasukan ke dalam lemari es untuk diawetkan. Telur-telur tersebut akan diamati morfologi dan diameter telur harian selama 6 hari perlakuan.
3.2.1.2 Larutan formalin
Formalin 100% dilarutkan dengan air menjadi formalin 10%. Siapkan Ikan Lele (Clarias gariepinus) segar, lalu dibagian perutnya diberi goresan pisau telebih dahulu sebesar satu atau dua cm lalu masukan formalin melalui goresan tersebut. Siapkan botol film yang sudah diberi larutan formalin 10%, sebagian telur dimasukan ke botol film tersebut lalu disimpan.
3.2.1.3 Larutan gilson
Siapkan ikan Lele (Clarias gariepinus) yang masih segar, lalu ikan tersebut dibedah terlebih dahulu lalu masukan larutan gilson melalui goresan tersebut dan dikeluarkan bagian ovariumnya. Ovarium setelah dikeluarkan dari tubuh ikan dibedah dua memanjang, balikan bagian dalamnya menjadi di luar. Kemudian masukan ovari dan larutan ke dalam wadah, kocok dengan hati-hati dan berulang-ulang sampai telur terlepas dari jaringan ovarium.
3.2.2 Pengamatan morfologi telur
Sampel telur diambil sebanyak 120 butir kemudian diamati bentuk telur, kondisi kulit telur dan warna telur dengan bantuan loupe atau mikroskop.telur digambar dengan bantuan loupe atau mikroskop dan kalau memungkinkan lengkap dengan bentuk mikropilnya lalu data dicatat secermat mungkin.
3.2.3 Pengamatan diameter telur
Mikrometer obyektif dan okuler dihimpitkan, lalu dicatat angka yang saling berhimpitan dari skala 1-100, dan dicatat semua yang saling berhimpitan untuk memperbesar ketelitian dan memperkecil error. Lalu dicari nilai 1 okuler terhadap skala pada obyektif dan melakukan kalibrasi. Diameter telur adalah jumlah skala yang dikalikan dengan angka kalibrasi.
Nilai 1 okuler terhadap skala pada objekti dicari dengan :
1 okuler X jumlah okuler = jml. Oby. X oby
1 okuler =
1 okuler = ----------------- merupakan angka kalibrasi
Diameter telur = jumlah skala dikalikan angka kalibrasi
3.3. Waktu dan tempat
Praktikum Biologi Perikanan dilaksanakan pada tanggal 22 November 2009 pukul 13.00 WIB, di Laboratorium Umum Jurusan Perikanan dan Kelautan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 3. Data Pengamatan Morfologi Telur Selama 6 Hari Pengawetan
Metode
|
Morfologi Awal
|
Morfologi Akhir
|
Penyusutan Diameter (%)
| ||||
A
|
B
|
C (mm)
|
A
|
B
|
C (mm)
| ||
1
|
cokelat
muda
|
Bulat
|
3,63
|
kuning cerah
|
Bulat
|
2,7
|
25,6 %
|
2
|
cokelat muda
|
Bulat
|
3,63
|
kuning pucat
|
Bulat
|
2,6
|
28,3 %
|
3
|
cokelat muda
|
Bulat
|
3,63
|
cokelat pekat
|
Bulat
|
2,4
|
33,8 %
|
Keterangan:
1= Formalin, 2= Gilson, 3= Pendinginan, A= Warna, B= Bentuk, C= Diameter
Tabel 4. Data Pengamatan Diameter Telur Harian
Metode
|
Data Pengamatan Hari Ke
| ||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
| ||
A
|
Hijau
Lumut
|
Hijau
|
coklat tua
|
Kuning
|
Coklat tua
|
kuning cerah
| |
1
|
B
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
C
|
2,6
|
2,3
|
2,4
|
2,3
|
2,7
|
2,7
| |
A
|
Hijau kekuning
An
|
Hijau
|
coklat kekuning
an
|
Kuning
|
Coklat muda
|
kuning pucat
| |
2
|
B
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
C
|
2,5
|
2,2
|
2,3
|
2,4
|
2,4
|
2,6
| |
A
|
Coklat
|
Bening
|
Coklat
kekuning
an
|
Kuning
|
Coklat tua
|
coklat pekat
| |
3
|
B
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
Bulat
|
C
|
4,1
|
3
|
4,2
|
2,5
|
3
|
2,4
|
Keterangan:
1= Formalin, 2= Gilson, 3= Pendinginan, A= Warna, B= Bentuk, C= Diameter(mm)
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, terjadi perubahan warna telur sebelum dan sesudah diawetkan. Telur yang belum diawetkan berwarna coklat muda, namun setelah diawetkan telur mengalami perubahan warna. Telur yang diawetkan dengan formalin mengalami perubahan warna menjadi kuning cerah, sedang telur yang diawetkan dengan larutan gilson mengalami perubahan warna menjadi kuning pucat, dan telur yang diawetkan dengan cara pendinginan mengalami perubahan warna menjadi coklat pekat.
Bentuk telur sebelum maupun sesudah diawetkan tidak mengalami perubahan yaitu bulat, hanya saja pada pendinginan bentuk telur kurang begitu jelas saat dilihat dengan mikroskop, kemungkinan hal ini terjadi dikarenakan kristal es nya mencair sehingga menutupi bagian telur saat diamati.
Berdasarkan hasil praktikum, diameter telur sebelum diawetkan sebesar 3,6 mm, namun setelah diawetkan selama 6 hari terjadi perubahan yaitu terjadinya penyusutan diameter telur ikan Lele tersebut. Telur ikan yang diawetkan dengan larutan formalin mengalami penyusutan diameter menjadi 2,7 mm, sedang telur ikan yang diawetkan dengan larutan gilson mengalami penyusutan diameter menjadi 2,6 mm, dan telur iakan yang diawetkan dengan cara pendinginan mengalami penyusutan diameter menjadi 2,4 mm.
Gambar 3. Presentase penyusutan diameter telur yang diawetkan selama 6 hari.
Berdasarkan gambar 3 diketahui bahwa penyusutan telur pada pengawetan larutan formalin sebesar 25.6%, pada larutan gilson 28.3%, dan pada pendinginan sebesar 33.8%. Penyusutan terbesar adalah pada pendinginan. Hal ini dikarenakan penurunan suhu mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi, dan biokimia yang berhubungan dengan kelayuan, kerusakan, dan pembusukan. Pada suhu kurang dari 0 oC , air akan membeku kemudian terpisah dari larutan dan membentuk es. Jika kristal es yang terbentuk besar dan tajam akan merusak tekstur dan sifat telur, sehingga terjadilah penyusutan pada diameter telur ikan tersebut, tetapi di lain pihak kristal es yang besar dan tajam juga bermanfaat untuk mereduksi atau mengurangi jumlah mikroba sehingga telur ikan dapat awet selama beberapa hari.
Penyusutan diameter telur yang diawetkan dengan larutan formalin dikarenakan kandungan terbesar dari formalin ialah alkohol, alkohol merupakan larutan dengan daya dehidrasi yang kuat dan menyebabkan pengerasan dan pengerutan jaringan. Alkohol dapat mengkoagulasi protein dan presipitasi glukogen dan melarutkan lemak. Sebagian besar di dinding sel mikroba yang terdapat pada lapisan luar telur terdiri dari lemak, sehingga alkohol dapat melarutkan lemak karena sifat alkohol tersebut dapat mendenaturasi lemak dalam konsentrasi tinggi. Hal ini menyebabkan diameter telur ikan yang diawetkan dengan larutan formalin mengalami penyusutan tiap harinya.
Perubahan yang terjadi pada diemeter telur yang diawetkan dengan larutan gilson tidak jauh berbeda dengan pengawetan telur yang menggunakan larutan formalin, yaitu terjadi penuyusutan diameter telur. Hal ini terjadi dikarenakan kandungan terbesar dari larutan gilson sama dengan kandungan yang terdapat pada larutan formalin yaitu alkohol.
Berdasarkan besar kecilnya persentase penyusutan diameter telur ikan, pengawetan yang terbaik ialah dengan menggunakan larutan formalin. Hal ini dikarenakan hasil akhir pengawetan hanya mengalami sedikit perubahan morfologi pada telur, sehingga formalin yang lebih baik dalam mempertahankan morfologi telur awal.
Gambar 4. Diameter telur harian yang diawetkan dengan formalin
Pada gambar 4 menunjukkan bahwa ukuran diameter telur awal dan setelah diawetkan pada hari yang berbeda-beda memiliki diameter yang bervariasi, namun tetap mengalami penyusutan dibandingkan diawal perlakuan.
Gambar 5. Diameter telur harian yang diawetkan dengan larutan gilson
Pada gambar 5 menunjukkan bahwa ukuran diameter telur awal dan setelah diawetkan pada hari yang berbeda-beda memiliki diameter yang bervariasi, namun tetap mengalami penyusutan dibandingkan diawal perlakuan.Hari pertama hingga hari kelima diameter telur berkisar antara 2,5-2,4 mm dan mengalami pertambahan ukuran diameter pada angka 2,6 mm. Meskipun demikian pertambahan tersebut tidak melebihi diameter awal telur.
Gambar 6. Diameter telur harian yang diawetkan dengan pendinginan
Pada gambar 6 menunjukkan bahwa ukuran diameter telur awal dan setelah diawetkan pada hari yang berbeda-beda memiliki diameter yang bervariasi. Pada hari pertama dan ketiga mengalami peningkatan dibanding hari-hari lain bahkan melebihi diameter awal telur. Hal ini dikarenakan pada saat telur didinginkan terbentuklah kristal es di sekeliling telur, sehingga ada kemungkinan kristal es tersebut ikut terukur pada saat pengamatan, inilah yang menyebabkan diameter telur menjadi besar.
Diameter telur yang bervariasi tersebut dapat dikarenakan ukuran telur dalam satu ovarium berbeda-beda. Hal lainnya dikarenakan oleh ketelitian pengamatan. Pengamatan diameter telur harian dilakukan oleh praktikan yang berbeda, sehingga ketelitian yang diperoleh juga berbeda.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Warna telur ikan Lele Dumbo sebelum diawetkan menggunakan formalin, gilson maupun pendinginan adalah coklat muda, sedangkan setelah diawetkan warna berubah menjadi kuning cerah, kuning pucat dan cokelat pekat.
2. Bentuk telur ikan Lele Dumbo baik sebelum diawetkanmaupun sesudah diawetkan bentuknya tetap bulat.
3. Diameter telur ikan Lele Dumbo sebelum diawetkan sebesar 3,63 mm
4. Diameter telur ikan Lele Dumbo setelah diawetkan dengan menggunnakan formalin sebesar 2,7 mm, menggunakan gilson diameternya sebesar 2,6 mm, sedangkan menggunakan pendinginan diameternya sebesar 2,4 mm.
5. Pengawetan yang terbaik ialah dengan menggunakan larutan formalin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. sifat-kimia-formaldehida. www.googel.com. Diakses pada tanggal 01 Desember 2009.
Anonim, 2009. Asam. www.googel.com. Diakses pada tanggal 01 Desember 2009.
Bagenal, T.B. and E. Braum.1968. Eggs and Early Life History, dalam W.E. Ricker ed. Methods for Assessment of Fish Production in Fresh Water. Blackwell Scientific Publication.
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.
----------------- 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Bogor.
Hoar, W.S. and D.J. Randall. 1969. Fish Physiologi Vol III. Academic Press.
Khotimiyati, A. 2004. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Brek (Puntius orphoides) di Sungai Klawing Kabupaten Purbalingga. Skripsi Tidak Dipublikasikan. UNSOED. Purwokerto.
Linhart, O. Kudo, S. Billard, R. Slechta, V and Mikodina, E.V. 1995. Morphology Composition and Fertilization of Crab Eggs a Review Aquaculture. 129 : 75; 93.
Sumantadinata, N. 1981.Perkembangan Ikan-ikan Di Indonesia. Yasaguna, Jakarta .
No comments:
Post a Comment